Istilah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti “Rakyat” dan kratos yang
berarti “pemerintahan, kekuatan”. Dengan demikian, demokrasi dapat di mengerti
sebgai:
1.
Bentuk
pemerintahan dimana keputusan politiknya ditentukkan sebagian besar oleh rakyat
biasa melalui wakil-wakil yang dipiih pemilihan berkala secara bebas.
2.
Suatu pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi
ada di tangan rakyat; sehingga demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.
3.
Sebuah keadaan yang di dalamnya terdapat
kebebasan, persamaan, dan permusyawaratan.
4.
Pandangan hidup yang dicerminkan dengan
perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa di dalam membentuk
nilai-nilai bersama di dalam masyarakat.
Pemerintah
yang bersifat demokratis pertama kali di praktikan oleh bangsa Yunani. Di
Athena kuno,demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Namun demikian, yang di
maksudkan “rakyat” di sini tidak sama dengan rakyat dalam pengertian kita
sekarang. “rakyat” di Athena adalah laki-laki merdeka, kaum bangsawan, yang
berbeda dengan perempuan, rakyat jelata
dan para budak yang tidak mempunyai hak untuk ikut serta menata kehidupan
masyarakat.
Betapapun
demikian, gagasan tentang demokrasi itu kemudian berkembang, mula-mula di
Amerika Serikat dan belakangan semakin meluas di seluruh dunia. Meskipun
demikian, di Amerika Serikat demokrasi mula-mula tidaklah seperti yang kita
bayangkan sekarang – dengan rakyat yang memerintah melalui wakil-wakil mereka
di parlemen dst. Pada awalnya, hanya lelaki kulit putih dewasa yang memiliki
property ( tanah, pegunungan, lading, dll) yang mempunyai hak pilih. Para budak
asal Afrika, orang-orang kulit hitam merdeka , bahkan perempuan kulit putihpun,
tidak memiliki hak ini.
Pada
1789, Prancis mengadopsi “ Deklarasi Hak-hak manusia dan warga Negara “.
Meskipun demikian, Dewan Konvensi Nasional (= DPR), hanya dipilih oleh
laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah Prancis pada waktu itu belum sepenuhnya
bersifat demokratis. Begitu pula halnyya denga Amerika Serikat yang kini sering
dianggap sebagai pembela demokrasi di dunia. Hak pilih laki-laki kulit hitam
keturunan para budak baru diakui pada tahun 1870 dan hak pilih kaum perempuan
baru diakui pada tahun 1920.
Di
masa kini banyak Negara di dunia yang mengaku
“Demokratis”, artinya, berdasarkan demokrasi. Ada yang bentuknya
demokrasi Liberal seperti di Amerika Serikat, ada demokrasi sosialis seoerti di
sejumlah Negara Skandinavia, atau demokrai komunis seperti republic demokratis
rakyat Korea, nama resmi Negara Korea Utara . Namun, label “Demokrasi” bukanlah
jaminan apa-apa. Di Korea Utara, misalnya, hanya ada satu partai politik
sehingga rakyat tidak mempunyai pilihan dalam proses pemilihan umum.
Jadi,
meskipun banyak Negara menyebut dirinya ”demokratis” , pada praktiknya banyak
diantaranya yang tidak benar-benar demokratis. Belum seluruh rakyatnya
mempunyai hak memilih dan dipilih. Rakyat tidak sepenuhnya berkuasa, karena
system yang dibangun memang tidak memungkinkan rakyat untuk memerintah dan berkuasa.
Sebaliknya, rakyat dapat di perlemah dengan berbagai peraturan dan larangan.
DEMOKRASI
DI INDONESIA
Negara Indonesia
bertujuan melindungi dan menyejahterakan rakyat sesuaidengan pembukaan UUD
1945.
Melalui perjalanan panjang dalam mewujudkan demokrasi di
Indonesia, bangsa Indonesia telah menetapkan bahwa demokrasi yang akan
dilaksanakan adalah demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila dalah system
pemerintahan Negara yang berlandaskan pada falsafah Pancasila dan di dalam
pelaksanaannya berpedoman pada segala ketentuan yang terdapat pada Pancasila
dan UUD 1945. Konsekuensi penerapan demokrasi Pancasila ini, antara lain :
·
Negara harus
menjamin kebebasan untuk menganut dan menjalankan agama atau kepercayaan yang
di yakini;
·
Pengakuan
terhadap proses demokrasi dalam segala urusan kemasyarakatan.
·
Adanya persatuan
bangsa yang tidak membeda-bedakan agama, suku, ras, golongan ekonomi, dll.
Sekaligus mengakui kepelbagaian yang ada di masyarakat.
·
Keadilan social
yang berlaku bagi semua rakyat tanpa, terkecuali.
Dalam pelaksanaannya,
demokrasi di Indonesia mengalami berbagai gejolak. Di masa orde lama di
berlakukan “ demokrasi terpimpin” yang tidak memberikan kesempan kepada rakyat
untuk mengembangkan inisiatifnya sendiri. Segala sesuatu harus dijalankan di
bawah pimpinan presidenmyang berkuasa saat itu, Soekarno.
Selama masa Orde Baru, meskipun teorinya di berlakukan “
Demokrasi Pancasila” , pada praktiknya keadaan tidak jau berubah dari masa Orde
Lama. Bahkan dalam banyak hal partisipasi masyarakat dalam pemerintahan justru
menjadi lebih sempit. Partai politik yang boleh hidup pada saat itu hanya tiga.
Rakyat diwajibkan menyalurkan aspirasinya hanya lewat ke tiga partai tersebut.
Pemilihan presiden dilakukan oleh majelis pemusyawaratan rakyat (MPR), yang
hanya di perhadapkan pada satu pilihan saja :
Soeharto. Tidak mengherankan apabila selama Orde Baru Indonesia
terus-menerus dipimpin oleh satu orang presiden saja yang dipilih hingga enam
kali berturut-turut, karena orang tidak mempunyai pilihan yang lain.
Parlemen, yang mestinya menjdai “ Dewan Perwakilan Rakyat”
, telah menjadi alat penguasa semata-mata. Dalam keadaan seperti itu, rakyat
justru memperoleh pemberdayaan lewat lembaga-lembaga swadaya masyarakat
yang menolong rakyat yang hidup di
sector formal dan informal seperti petani, buruh pabrik, pedagang kaki lima,
pemungut sampah, dll. Lembaga-lembaga ini bergerak memberikan pelatihan, modal
kerja, pengunaan teknologi tepat guna, bagi masyarakat. Ada pula lebaga-lembaga
yang bergerak dengan memberikan bantuan hokum dan hak asasi manusia bagi kaum
perempuan dan rakyat kecil yang tidak mempunyai dana untuk membela diri dalam
menghadapi pihak-pihak yang lebih kuat.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang tumbuh dari
lingkungan gereja dan yang banyak menolong masyarakat antara lain adalah: Moria
GPKP, Layar Siantar ( Sumut ) ; Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial ( Solo
); Yayasan Alfa-Omega ( Timor ); yayasan Dian-Interfidei dai Kaliurang,
Yogyakarta; yayasan pengembangan masyarakat desa ( YPMD)- Papua dll.
DEMOKRASI MENURUT IMAN
KRISTEN
Yohanes Calvin, salah sorang tokoh Reformasi Gereja, dapat
dikatakan sebagai pencetus benih bagi system demokrasi modern. Calvin
mengatakan bahwa gereja di bawa Allah, adalah sebuah republic rohani. Jabatan
peatua dalam ajaran Calvin adalah jabatan yang mengatur gereja. Para penatua
inilah, bukan seorang uskup, yang mengawasi pemberitaan Firman dan penerapannya
dalam kehidupan gereja maupun warga gereja sehari-hari. Calvin, yang
menyatakan bahwa para pemimpin
bertanggung jawab kepada rakyat dan dapat di gulingkan bila ternyata tidak
memerintah dengan baik, memberikan suatu pemahaman baru tentang kedudukan
rakyat dan raja.
James Hasting Nichols, seorang pakar Sejarah Gereja dari
Unversitas Chicago di AS menyatakan
bahwa sementara system politik Abad Pertengahan mulai tersisihkan,
muncullah dua pemikiran keagamaan yang menguat pada abad ke- 19 . Yang pertama
di wakili oleh gereja Katolik Roma, Anglikan, dan Lutheran, yang mengajarkan
tentang “hak inilah yang dikaruniai Allah kepada raja” yang menyiratkan bahwa
rakyat tidak berhak melawan raja. Aliran yang kedua diwariskan oleh
gereja-gereja Calvinis yag menekankan pembatasan terhadap monarki, kewajiban timbal balik antara Negara atau
herarki dengan dirinya dan Allah. Teologi Calvin ini kemudian memberikan
pengaruh yang kuat kepada system pemerintahan yang di kembangkan di Amerika
Serikat, yang kemudian menjadi suatu system demokratis.
Berdasarkan hal di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
setiap orang Kristen wajib berperan aktif dalam kehidupan berdemokrasi. Hal ini
dapat di wijudkan, antara lain dalam turut berpartisipasi aktuf dalam pemilu,
menjadi anggota partai politik, turut secara akif dalam pengambilan keputusan
yang mengatur kehidupan bersama, dan bentuk-bentuk kegiatan polotk lainnya.
Dengan demikian, orang Kristen ikut mengontrol penggunaan kekuasaan oleh
pemerintah, dan ikut serta bertanggung jawab menciptakan hidup yang lebih
sejahtera di tengah masyarakat.
Iman Kristen menegaskan bahwa semua kuasa berasal dan hanya
milik Allah. Kuasa adalah pemberian Allah yang harus di pertanggungjawabkan
dalam pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, setiap orang Kristen yang terlibat
dalam berbagai kegiatan politik wajib menyuarakan suara kenabian. Suara
kenanbian itu di dasarkan pada nilai-nilai yang universal, yaitu: menegakkan
keadilan, menyatakan kebenaran, menghormati kebebasan yang bertanggung jawab,
memperjuangkan kesejahteraan, dan mempraktekkan Kasih kepada semua orang.
Kelemahan yang selama ini terjadi adalah orang Kristen
cenderung menghidari keterlibatan dala aktivitas yang “berbau” politik. Politik
hanya dianggap sebagai urusan orang-orang tertentu saja, yang terlibat di
partai politik ( anggota DPR/DPRD ), atau pemerintah. Warga gereja lainnya
merasa sudah cukup kalau menjadi “penonton” saja. Padahal , sadar atau tidak,
di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara semua warga Negara akan
menanggung dampak dari setiap keputusan politik yang ditetapkan. Dengan
berpartisipasi aktuf dalam kegiatan politik, orang Kristen turut menata
kehidupan bersama, sekaligus merupakan upaya kita untuk mewujudkan nilai-nilai
demokrasi yang sesuai dengan iman Kristen.